1.1.Pengertian Isra’ Mi’raj dan hikmahnya
a. Pengertian Isra’ Mi’raj
Menurut Bahasa Isra’ adalah “ berjalan di waktu malam “, sedangkan
menurut istilah yaitu perjalanan Nabi Muhammad SAW di waktu malam dari Masjidil
Haram mekah hingga Masjidil Aqsa
palestina, bertepatan dengan malam 27 Rajab satu tahun sebelum hijrahnya nabi.
( banyak pendapat ulama ). Allah SWT berfirman:
Artinya : Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui. (QS.Al-Israa: 1)
Mi’raj menurut bahasa adalah “alat untuk naik
(tangga), sedangkan secara istilah mi’raj
yaitu Nabi Muhammad SAW dinaikkan dari masjidil aqsha ke langit sampai ke
Sidratul Muntaha (Sidratul Muntaha
berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara. Sedangkan
muntaha berarti tempat berkesudahan). Dengan demikian, secara bahasa
Sidratul Muntaha berarti pohon Bidara tempat berkesudahan. Disebut demikian
karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan
merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya
maupun segala perkara yang turun dari atasnya. Allah SWT berfirman :
Artinya : dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratil
Muntaha ( QS.An-Najm: 13-14 )
Peristiwa mi’raj juga terjadi pada malam 27 Rajab, jadi mi’raj adalah
sebagai kelanjutan isra’ yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam waktu satu
malam.
Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW ini, terjadi pada tahun ke-12 dari
kerasulannya atau satu tahun sebelum Nabi Hijrah, tepatnya tahun 622 Masehi. Peristiwa
tersebut merupakan bagian paling rumit, unik dan sangat sulit otak manusia
menerimanya, Lebih pada saat itu, Taraf pemikiran manusia pada saat itu masih
sangat sederhana. Pemikiran mereka baru sampai pada masalah-masalah
sederhana, dangkal dan bersifat spekulatif. Tanggapan masyarakat tentang
peristiwa Isra’ Mi’raj beraneka macam. Terdapat tiga kelompok kelompok dalam
peristiwa ini, yaitu :
·
Kelompok yang membenarkan sepenuhnya peristiwa
itu. (sahabat-sahabat yang memang mendapat petunjuk Allah. Prasangka baik dari
hati mereka lebih kuat dan menonjol daripada kekuatan piker yang cenderung
untuk ragu-ragu.
·
Kelompok yang ragu-ragu terhadap peristiwa itu.
(kelompok sahabat maupun sejumlah pengikut Islam yang dikategorikan setengah
berisi. Sikap ragu mereka sebagian melahirkan sikap murtad)
·
Kelompok yang terang-terangan menolak peristiwa
itu. (kelompok masyarakat yang pada dasarnya sudah tidak percaya pada ajaran
Islam)
Az-Zahri dan Urwah telah meriwayatkan, bahwa pada pagi hari setelah Rasululloh SAW di Isra’ Mi’rajkan,
ketika peristiwa itu diceritakan kepada orang-orang Quraisy, mereka banyak yang
tidak mempercayainya, bahkan mereka mengadakan reaksi membuat fitnah yang
keras. Dalam hal ini, mereka pergi menuju Abu Bakar As-sidik untuk memberitahu
tentang apa yang dikisahkan oleh Muhammad dengan berkata : “Wahai Abu Bakar,
teman anda Muhammad sudah gila, ia mengaku-aku telah pergi ke Bitul Muqaddas
kemudian naik kelangit sampai ke Sidratul Muntaha dan kembali lagi sebelum
waktu pagi, adakah anda mempercayainya?” Abu Bakar menjawab : “Kalau memang
Muhammad berkata begitu, maka aku mempercayainya”. “Engkau percaya dengan dia?,
tanya mereka. Abu Bakar dengan tegas menjawab : “Ya aku percaya, dan itu pasti
benar”. Maka dari peristiwa inilah Abu Bakar disebut dengan sebutan “Ash
Shiddiq”.
Kalau kita teliti dari kacamata
agama, peristiwa isra’ mi’raj ini termasuk salah satu mu’jizat Nabi Muhammad
SAW yang luar biasa. Tidak ada manusia yang dapat melaksanakan kecuali Nabi
SAW.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga dan
terhormat, karena ketika itu shalat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi
lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha. Walaupun begitu, peristiwa
ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat Rasululloh SAW
bersedih.
b.
Latar belakang terjadinya Isra’ Mi’raj
Ketika peristiwa Isra’ Mi’raj
terjadi, agama Islam sudah berumur 11 tahun lebih dan pengikutnya sudah ratusan
jumlahnya. Menurut sejarah Islam, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW terjadi pada
tahun ke 12 dari kerasulannya. Dalam sejarah Nabi disebutkan bahwa selama 12
tahun dari kerasulan adalah merupakan detik-detik berbahaya. Istri Nabi, Siti
Khadijah binti Khuwailid sebagai pendamping dalam perjuangan dan Abu Thalib
paman Nabi sebagai tulang punggungnya secara beruntung dipanggil kehadirat
Allah SWT.
Keadaan yang mencekam beliau ini
cukup membuat kemelut dalam perjuangan dan mengganggu kestabilan. Peristiwa ini
benar-benar membuat kondisi Nabi menjadi kritis. Kritis dalam perbuatan karena
bendaharawan juang telah tiada, kritis dalam berperang karena pelindung telah
berpulang, kritis psikologis karena kematian pamannya belum membawa iman yang
diharapkan.
Dari fakta sejarah ini para
ulama berpendapat bahwa peristiwa kematian istri dan paman Nabi merupakan latar
belakang dan kausalitas pada proses terjadinya Isra’ Mi’raj.
c.
Riwayat Isra’ Mi’raj
-
Riwayat Isra’
Menurut banyak
keterangan, diriwayatkan bahwa perjalanan Isra’ dimulai ketika suatu malam Nabi
sedang tidur di Hijr (dekat ka’bah). Malaikat jibril membangunkan Nabi sampai
tiga kali, ketika Nabi terbangun dari tidurnya melihat ada seekor hewan yang
putih antara bagal dan himar, pada kedua pahanya ada dua buah sayap yang
menambah cepat jalan kedua kakinya.
Perjalanan Isra’
Nabi Muhammad SAW dimulai dengan pesucian hati. Disebutkan sebelum dibawa
Malaikat Jibril, Nabi dibaringkan lalu dibelah dadanya dan dibersihkan hatinya
dengan air zam zam. Apakah hati Rosululloh kotor? Pernahkah Rosululloh berbuat
dosa? Apakah Rosululloh punya penyakit dendam, iri, dengki atau berbagai
penyakit hati lainnya? Dapat kita fahami dan kita ambil pengertian bahwa dicuci
hati Nabi bukan dari kotoran dosa atau ma’siat. Yang dimaksud dicuci disini
adalah dikikis habis dari sifat-sifat yang tercela yang ada pada hati manusia
biasa. Karena
sifat-sifat itu adalah penghalang dalam menghadapi masa-masa perjuangan seorang
pemimpin apalagi seorang Rasul.
Rosululloh adalah
sosok “Uswah”, pribadi yang hadir di tengah-tengah umat tidak saja sebagai
mubaligh (penyampai) melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi
percontohan bagi yang mengaku pengikutnya. “Laqod kaana lakum fii Rosulillahi uswatun hasanah”. Memang betul, sebelum melakukan perjalanan
haruslah membersihkan hati. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan.
Perjalanan “suci” yang seharusnya dibangun dalam suasana “kefitrahan”. Berjalan
dariNya dan menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini diperlukan lentera, cahaya
atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai “nurani”
itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini
berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan
“karat” kehidupan (fa alhamaha fujuuroha). Semakin kuat gesekan karat, semakin
jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya,
disetiap saat dan kesempatan diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam
untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melekat. Hanya dengan itu, hati akan
bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian
menjadi “penentu” baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
ألا
إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلحت سير عمله، وإذا فسدت فسدت سير عمله.
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya
putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena
manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh
Noda hitam pada hati, yang pada akhirnya
menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat
tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan
membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa
disadarkan oleh api neraka. Dalam Al Qur'an, Allah berfirman:
Artinya: Sungguh beruntung siapa yang
mensucikannya, dan sungguh merugi siapa
yang mengotorinya".(QS.Asy Syams. 9-10)
Maka sungguh perjalanan ini hanya akan
bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati
kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan
sucinya tersebut.
Perjalanan Isra’ Nabi Muhammad SAW dimulai dengan sholat
sebagai rasa syukur di masjidil haram, dilanjutkan ke Thaibah (yatsrib/Madinah,
daerah kemudian Nabi hijrah), Madyan (pohon Nabi Musa), Gunung tursina ( tempat
Nabi Musa menerima wahyu langsung dari Allah) dan Baitullaham (betlehem/tempat
kelahiran Nabi Isa AS). Pada setiap tempat itu Nabi SAW melaksanakan sholat sunnah
dua rakaat. Pada perjalanan ini, Nabi juga diperlihatkan gambaran-gambaran
tentang umatnya pada masa yang akan datang, kemudian perjalanan diakhiri dengan
melaksanakan sholat di Baitul Muqoddas (masjidil Aqsho).
Riwayat Mi’raj
Perjalanan Isra’
Nabi SAW diakhiri dengan sholat berjama’ah dengan ruh para Nabi (kecuali Isa
bin Maryam AS) di Baitulmuqoddas (Masjidil Aqsha). Setelah sholat berjama’ah
dilanjutkan dengan pidato sambutan dari para Nabi secara bergantian dan Nabi
Muhammad SAW mendapatkan giliran terakhir. Setelah Nabi selesai mengungkapkan
syukur kepada Allah, datanglah bidadari dengan membawa baki berisi dua gelas
minuman. Segelas berisi susu dan segelas lagi berisi arak. Nabi memilih susu,
kemudian Nabi meminumnya. Ketika itu Malaikat Jibril berkata :”tepat sekali
pilihanmu ya Muhammad, minuman itu cocok sekali bagi fitrah manusia, sejak ia
lahir minum susu ibu, murni, asli dan bergizi. Seandainya engkau memilih arak
maka umatmu banyak yang mendurhakaimu dan sedikit sekali yang mengikutimu”.
Setelah Nabi-nabi
mengucapkan pidato sambutan, kemudian mereka meninggalkan Masjidil Aqsha. Nabi
Muhammad bersama Jibril dan Mikail keluar meninggalkan masjid, di halaman
masjid ada sebuah batu besar, diatas batu itulah diletakkan sebuah alat semisal
tangga untuk naik ke langit. Tangga itu mempunyai anak tangga sepuluh buah.
Ujung bawah tangga itu terletak diatas batu shakhroh atau batu besar. Ketika
diinjak anak tangga yang pertama maka akan langsung mencapai langit pertama
begitu seterusnya.
Dengan mengucap
basmallah Nabi menaiki tangga itu bersama jibril maka dengan seketika itu telah
berada dilangit pertama dimuka pintu gerbang langit pertama “Babul Hafzhah”,
disitu berdiri malaikat pengawal langit pertama yang bernama Ismail yang
mempunyai anak buah 70.000 Malaikat dan tiap-tiap Malaikat memiliki 70.000
Malaikat. Dilangit pertama Nabi berjumpa dengan dengan Nabi Idris AS, langit
kedua dengan Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS, langit ketiga dengan Nabi Yusuf AS, langit
keempat dengan Nabi Idris AS, langit
kelima dengan Nabi Harun AS, langit ke enam dengan Nabi Musa AS dan langit
ketujuh dengan Nabi Ibrahim AS.
Kemudian dari langit ke tujuh Nabi di
ajak ke Sidratul Muntaha.karena sampai batas inilah segala amal anak Adam di
peroleh malaikat dari bumi. Di Sidratul muntaha ada surga dan Nabi melihat
keadaan itu benar-benar terpesona,sungguh berbahagia sekali Nabi Muhammad
dengan Isro’ dan Mi’rojnya Beliau diberi kesempatan keadaan surga dari dekat
agar dapat di ceritakan kepada Umatnya sehingga mereka tambah beriman dan
tambah keyakinannya.Kemudian Nabi di ajak melihat keadaan neraka, menurut Nabi
neraka adalah tempat penyiksaan. Di dalamnya ada gunung-gunung, ada sungai dan
telaga dan jurang-jurang. Air sungai neraka selalu panas dan mendidih, airnya
ada dari cairan timah panas, cairan tembaga merah membara, air nanah yang
sangat busuk dan bau anyir darah.
Kemudian Nabi menuju Sidratul Muntaha.
Sidratul Muntaha adalah pohon bidara yang tidak berduri. Sebuah pohon raksasa
yang tumbuh di langit ketujuh. Hanya Alloh yang mengetahui besarnya pohon itu.
Disinilah terjadi dialog antara Nabi
dengan Alloh, diantara dialognya adalah tentang sholat lima waktu yang beliau
tawar sampai sembilan kali mulai dari 50 rokaat menjadi 5 rokaat.
Perjalanan singkat yang penuh hikmah
tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam
kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan
langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa
ni'mat menyaksikan dan mengelilingi
surga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu,
semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan
untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan
membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan
karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki
menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha
katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada
kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi
ini.
Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali
menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas
(Mi'raj).
Demikianlah akhir kisah perjalanan Isra’
Mi’raj Nabi Muhammad SAW, pada malam itu. Bagi mereka yang hatinya berisi
cahaya “iman” seperti Abu Bakar, Sayidina Ali dan sahabat Nabi yang lain mereka
membenarkan Nabi dan menambah iman serta keyakinan mereka. Akan tetapi bagi
mereka yang hatinya tertutup oleh kegelapan dan kekufuran, mereka lalu ingkar
dan bertambah kekufuran mereka.
d
Hikmah Isra’ Mi’raj
Setelah kita pahami kisah Isra’
Mi’raj, ada beberapa hikmah yang sangat penting, yaitu bahwa di dalam
perjuangan menghadapi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dunia dan akhirat :
1. Menguatkan
iman yang ada dalam dada kita, sehingga tidak mudah terpengaruh atau terpancing
oleh keadaan dan lingkungan yang tidak menguntungkan.
2. Nabi
Muhammad SAW untuk menerima perintah sholat, Nabi dipanggil sendiri ke hadirat
Allah SWT. Tidak seperti perintah-perintah yang lainnya yang cukup dengan
perantara wahyu yang dibawa oleh Malaikat Jibril. Ini menunjukkan bahwa
perintah wajib sholat itu sangat penting. Sholat adalah satu rangka pokok iman.
3. Motivasi
untuk memiliki akhlak mulia. Sebab budi pekerti yang baik dapat dipakai sebagai
ukuran tinggi rendahnya derajat manusia disisi Allah.
4. Membangun
pribadi kita dengan mengerjakan sholat lima waktu dengan khusu’, ikhlas dan
tekun hanya karena Allah semata. Inilah sikap seorang muslim. Kita dituntut
untuk turun ke bumi ini dengan membaka bekal sholat yang kokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar